SOEKARNO
Antara Pendidikan, Awal Langkah Berpolitik dan Ide
Nasakom
Sebagai
bapak proklamator seluruh rakyat Indonesia mengakuinya, sebagai orator ulung
tak ada yang tidak kenal dirinya. Soekarno dengan berbagai konsep pemikirannya
dengan beragam caranya dan dengan gayanya yang khas mampu menampilkan dirinya
sebagai sosok yang patut mendapat pujian. Tanpa perjuangan kerasnya tidaklah
mungkin bumi yang kita pijak ini mampu menjadi seperti sekarang ini, meski
“penjajah” dari dalam masih menggerogoti setiap segi kehidupan.
Masih
ingatkah Anda dengan semangat Marhaenismenya? Suatu semangat untuk mengangkat
martabat kaum tertindas Indonesia, atau cara pemikiran “Marxis-nya” yang
mempertimbangkan faktor tenaga kerja
dalam proses produksi yang kemudian dicobanya untuk mengembangkan
gagasan-gagasan baru untuk memetakan kaum tertindas Indonesia. Sebenarnya
semangat Marhaenisme timbul karena Soekarno melihat bukan hanya kaum buruh yang
miskin, tetap ada golongan petani, tukang cukur, supir bus, dan sebagainya yang
hidup dalam garis kemiskinan. Dari situlah Soekarno melahirkan nama baru yang
menjadi wakil bagi seluruh rakyat miskin “kaum Marhaen”.
Diantara
beragamnya perbedaan di dalam negeri, Soekarno mampu menunjukkan kepiawaiannya
menjalankan nahkoda yang terkadang harus berlayar terhuyung karena karang dan
topan mempermainkan kapal yang sedang diayunkan angin. Dalam perbedaan yang ada
sang nahkoda kurang mampu melaju dengan lincah ketika berhadapan dengan
kapitalisme dan komunisme. Kaum kapitalisme tak rela diatas paham sosialisme
Soekarno membangun kekuatan Asia-Afrika. Akibatnya nahkoda pun harus memberhentikan kapalnya berlabuh pada tempat
yang bukan menjadi tujuannya karena campur tangan pihak militer.
Ironis
rasanya jika putra-putra Indonesia melupakan bapak kita yang satu ini. Semakin
dikaji setiap tindakannya semakin banyak yang perlu kita telaah.
Soekarno,
seorang putra bangsa yang lahir pada abad ke-20 menyelesaikan sekolah dasar
Belanda di Mojokerto pada tahun 1916. Kemudian meneruskan pada sekolah menengah
di Surabaya. Saat itu orangtuanya menitipkan Soekarno pada keluarga Hj.Oemar
Said Tjokroarninoto, seorang tokoh Sarekat Islam yang tempat tinggalnya sering
sekali menjadi tempat rapat dan diskusi politik.
Di
tempat yang baru ini, Soekarno banyak mendapat pelajaran yang tidak dia
dapatkan di sekolah, konsep-konsep pemikiran politik dan ideologi mulai menjadi
sesuatu yang biasa bagi dirinya. Dari sini pula seorang Soekarno kecil mengenal
pelopor Islam Modern, Agus Salim juga KI Hadjar Dewantara – tokoh pendidikan.
Pendiri Partai Komunis Indonesia dan tokoh-tokohnya tak dilewatkan juga,
Hendrik Sneevliet (pendiri) dan Samaun juga Alimin (tokoh-tokoh PKI) dikenal
baik sebagai teman diskusi Soekarno kala itu.
Sekolah
teknik di Bandung saat itu menjadi pusat pemikiran dan gerakan nasionalis, selanjutnya menjadi pilihan untuk Soekarno
melanjutkan pendidikannya. Selama di Bandung rumah Hj.Sanusi yang masih teman
Tjokroaminoto menjadi tempat tinggalnya. Pertemanannya dengan berbagai kalangan
menjadi lebih luas, di kota inilah Ernest Douwes Dekker yang menolak dasar
Islam dan doktrin sosialisme ketat, yang menjadi dasar pemikirannya adalah bangsa
yang merdeka dan multirasial dikenalnya, tapi perkenalan dengan teman barunnya
ini semakin mengecilkan Soekarno akan gagasan tentang sabuah negara nasional
yang sosialis jika dikaitkan dengan paham yang diyakini oleh Doewes Dekker.
Awal langkah Soekarno
bergelut dalam bidang politik adalah ketika dia mulai memasuki suatu klub yang bernama
Algemeene Studie Club, dimana jabatan
sekretaris dan penggerak utama disandangnya. Aktifitas ini mulai digeluti
setamatnya dari sekolah tekhnik, dimana pada saat itu ada dua pikiran yang
berkecamuk dalam benak Soekarno. Satu sisi dia mendapat tawaran dari menjadi
pegawai pemerintah dan sisi lainnya keinginan untuk berkecimpung dalam dunia
politik.
Saat itu keadaan politik Indonesia
bisa dikatakan kacau balau. Para tokoh politik dan organisasi saling mencurigai
dan saling menyalahkan. Pada tahun 1926 PKI harus menghadapi kegagalan dalam pemberontakannya, akibatnya terjadi penangkapan pada para
tokohnya, begitu pun yang terjadi pada organisasi yang pernah mendapat sambutan
dari masyarakat, Sarekat Islam, semua tinggal nama akibat perlakuan pihak
kolonial. Keadaan itu membuat Soekarno dan kelompok studinya membentuk
organisasi massa yang terdiri dari berbagai kekuatan.
Masih
dalam tahun yang sama pula, dalam Suluh Indonesia Muda yang ditunjukkan untuk
para kaum Nasionalis, Islam dan Komunis yang saling bermusuhan, Soekarno
menyerukan:
“ Nasionalis yang
enggan berdekatan dan bekerja sama dengan kaum Marxis menunjukkan ketiadaan
pengetahuannya berputarnya roda politik dunia. Ia lupa bahwa memusuhi bangsanya
yang Marxis itu samalah artinya dengan menolak kawan sejalan dan menambah
adanya musuh.”
“Islam yang sejati
tidaklah menganduk azas anti nasionalis. Islam yang sejati tidaklah bertabiat
anti sosialistis . Selama kaum Islam memusuhi faham-faham nasionalis yang luas
budi dan Marxisme yang benar, selama itu tidak bisa mengangkat Islam dari
kenistaan dan kerusakan.”
“...Bukannya kita
mengharap nasionalis supaya berubah faham menjadi Islamis dan Marxis, bukannya
maksud kita menyuruh Marxis dan Islamis berbalik menjadi Nasionalis. Tetapi
impian kita ialah berukunandan persatuan antara ketiga golongan itu.”
Tanpa kenal lelah,
Soekarno terus mengkoarkan tentang pentingnya persatuan berbagai golongan.
Tanggapan atas yang terus-terusan diteriakkan itu (Nasakom) mendapat sambutan
hangat yang luar biasa, itu terjadi pada kurun waktu 1920-1930-an, tetapi apa
yang terjadi setelah itu sungguh di luar dugaan. Setelah Indonesia merdeka,
tidak ada lagi sambutan meriah dari berbagai golongan dan elite politik yang
ada. Mungkin yang menjadi permasalahan adalah karena waktu (1940-an) itu Jepang
memberi izin pada masyarakat untuk membentuk organisasi-organisasi yang
sebelumnya dilarang berdiri.
Berdirilah organisasi
Islam yang menaungi dua kekuatan Islam, Muhammdiyah Nahdlatul Ulama yang berada
dalam satu wadah bernama Majelis Suro Muslimin Indonesia (Masjumi). Pusat
Tenaga Rakyat (PUTERA) merupakan organisasi yang sekuler, dimana untuk
kepentingan itu Jepang mengajak Soekarno-Hatta untuk bergabung.
Pada Dekrit Presiden
5 Juli 1959, Soekarno mengusung kembali ide Nasakomnya, setelah terjadi
ketengangan pada konstituante 1955-1959, dimana golongan Islam harus berhadapan
dengan golongan nasionalis sekuler yang diduduki pula oleh PKI. Apa yang
diusung Soekarno, tetapi tidak mendapat sambutan sebagaimana yang Soekarno
harapkan.
Soekarno dan Konsep Sosialis
Soekarno
dan Nasakom, Soekarno dan Marhaen orang tak pernah luput membicarakannya.
Marhaen yang sebenarnya berawal dari suatu cerita dimana waktu itu tahun 1927
Soekarno sedang melakukan sebuah perjalanan ke desa Cigereng Bandung. Ia
bertemu dengan seseorang petani yang keadaannya miskin meskipun sawah yang
digarap dan alat yang dipakai adalah miliknya. Dijadikanlah nama “Marhaen”
sebagai gambarnya kemiskinan rakyat Indonesia.
Saat
Soekarno menyadari betapa masih banyak struktur ketidakadilan sosial pada
masyarakat Indonesia yang masih kental dengan sistem kefeodalannya.
Dalam
menyusun konsep Marhaen, boleh dikata bukan merupakan hasil pikiran asli sang
proklamator, paham Marxisme telah dipakainya sebagai alat sistematis untuk
membuat analisa sosial. Konsep pikitan Lenin diduga pula oleh Soekarno ketika
berbicara masalah imperialisme, meski pada kenyataannya tidak diterapkan untuk
situasi dan kondisi Indonesia.
PKI
pernah mempunyai pendapat bahwa perlawanan rakyat terhadap penjajah adalah
sebuah kekakuan kelas, berbeda dengan Soekarno yang menyatakan bahwa tidak ada
kekakuan kelas yang ada adalah rakyat Indonesia secara keseluruhan mendambakan
kemakmuran melalui negrinya, jadi meskipun mereka masih mempunyai sesuatu.
Pada
era tahun 1950-1960-an terjadi pengolakan politik. Pertikaian politik,
perebutan kekuasaan antar partai, tekanan militer untuk saling berebut posisi
dalam negri begitu tajam. Sehingga baris-baris kekuatan ekonomi pun turut pula
diperebutkan. Akhirnya nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing pun menjadi
perseteruan, korupsi menjadi santapan sehari-hari. Bahkan angkatan darat yang
sudah berpengalaman mengatur jalur logistik tersebut mendapatkan keuntungan
dari beberapa perusahaan strategis. Padahal pada tahun yang sama Soekarno
kembali menggaungkan konsep Marhaenismenya. Sehingga sangat sulit bagi Soekarno
melakukan konsilidasi ekonomi.
Kenyataan
saat itu malah berkata lain. Pemikiran Soekarno mulai bercabang, mulai tergiur
untuk mendapatkan peran dalam peta politik global. Betapa Soekarno begitu mendambakan
sebuah kekuatan regional yang mampu menghadapi kekuatan kapitalisme
negara-negara besar. Perhatian Soekarno pada pengaturan ekonomi politik dalam
negeri pun harus retak karena situasi yang kompleks tersebut.
Kelemahan
Soekarno dalam mengatur perekonomian negara diakui pula oleh dirinya, yang
mengatakan bahwa dirinya bukanlah ahli ekonomi, tidak mengerti tekhnik ekonomi
dan tekhnik perdagangan. Pengakuan tersebut dibacakan pada pidato kenegaraan 17
Agustus 1963, yang mana pada kesempatan itu pun diakui pula bahwa dirinya
hanyalah seorang revolusioner dan yang menjadi perhatiannya hanyalah revolusi
ekonomi.
Pernyataan
pembelaan dirinya tentang kelemahannya adalah baha masalah ekonomi adalah
masalah yang sederhana, karena baginya ada satu aksioma, dimana kalau suatu
bangsa yang berada di wihlayah padang pasir kering kerontang saja bisa hidup,
apalagi bangsa Indonesia yang gemaripah loh jinawi (tanah subur dan kekayaan
alam yang berlimpah ruah).
Sayang,
cara berpikir Soekarno tentang karakter bangsa Indonesia yang menurutnya penuh
kegotongroyongan, secara keseluruhan tidaklah benar. Pandangannya tersebut
dipropagandakan oleh orang-orang yang menginginkan dan haus akan kekuasaan. Dan
yang lebih sedih lagi, tidak ada dukungan dari sebuah partai pelopor yang mampu
menjabarkan gagasan dan pola pikirannya dengan lebih detail, sistematis dan
realistis terhadap konsep Marhaenismenya.
Soekarno
memang telah tiada. Pada masa akhir jabatannya sang proklamator harus bersedia
menyingkir dari pusat kekuasaan tanpa diberi kesempatan untuk membela diri.
Banyak
hal yang bisa kita ambil dari konsep pemikiran Soekarno, tetapi itu bukan ingin
kembali meneriakkan slogan-slogan idealistis dan utopis. Apa yang sudah
dibuatnya, mengajarkan pada kita yang berpikir lateral yang mengali suatu yang
baru. Berkata “tidak” adalah salah satu hal yang bisa kita jadikan pelajaran
pula. Keberaniannya mengatakan pada bentuk penindasan dan pembodohan patut
ditiru sampai kapan pun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar