Senin, 05 November 2012

sokarno


SOEKARNO

Antara Pendidikan, Awal Langkah Berpolitik dan Ide Nasakom
                Sebagai bapak proklamator seluruh rakyat Indonesia mengakuinya, sebagai orator ulung tak ada yang tidak kenal dirinya. Soekarno dengan berbagai konsep pemikirannya dengan beragam caranya dan dengan gayanya yang khas mampu menampilkan dirinya sebagai sosok yang patut mendapat pujian. Tanpa perjuangan kerasnya tidaklah mungkin bumi yang kita pijak ini mampu menjadi seperti sekarang ini, meski “penjajah” dari dalam masih menggerogoti setiap segi kehidupan.
                Masih ingatkah Anda dengan semangat Marhaenismenya? Suatu semangat untuk mengangkat martabat kaum tertindas Indonesia, atau cara pemikiran “Marxis-nya” yang mempertimbangkan  faktor tenaga kerja dalam proses produksi yang kemudian dicobanya untuk mengembangkan gagasan-gagasan baru untuk memetakan kaum tertindas Indonesia. Sebenarnya semangat Marhaenisme timbul karena Soekarno melihat bukan hanya kaum buruh yang miskin, tetap ada golongan petani, tukang cukur, supir bus, dan sebagainya yang hidup dalam garis kemiskinan. Dari situlah Soekarno melahirkan nama baru yang menjadi wakil bagi seluruh rakyat miskin “kaum Marhaen”.
                Diantara beragamnya perbedaan di dalam negeri, Soekarno mampu menunjukkan kepiawaiannya menjalankan nahkoda yang terkadang harus berlayar terhuyung karena karang dan topan mempermainkan kapal yang sedang diayunkan angin. Dalam perbedaan yang ada sang nahkoda kurang mampu melaju dengan lincah ketika berhadapan dengan kapitalisme dan komunisme. Kaum kapitalisme tak rela diatas paham sosialisme Soekarno membangun kekuatan Asia-Afrika. Akibatnya nahkoda pun harus  memberhentikan kapalnya berlabuh pada tempat yang bukan menjadi tujuannya karena campur tangan pihak militer.
                Ironis rasanya jika putra-putra Indonesia melupakan bapak kita yang satu ini. Semakin dikaji setiap tindakannya semakin banyak yang perlu kita telaah.
                Soekarno, seorang putra bangsa yang lahir pada abad ke-20 menyelesaikan sekolah dasar Belanda di Mojokerto pada tahun 1916. Kemudian meneruskan pada sekolah menengah di Surabaya. Saat itu orangtuanya menitipkan Soekarno pada keluarga Hj.Oemar Said Tjokroarninoto, seorang tokoh Sarekat Islam yang tempat tinggalnya sering sekali menjadi tempat rapat dan diskusi politik.
                Di tempat yang baru ini, Soekarno banyak mendapat pelajaran yang tidak dia dapatkan di sekolah, konsep-konsep pemikiran politik dan ideologi mulai menjadi sesuatu yang biasa bagi dirinya. Dari sini pula seorang Soekarno kecil mengenal pelopor Islam Modern, Agus Salim juga KI Hadjar Dewantara – tokoh pendidikan. Pendiri Partai Komunis Indonesia dan tokoh-tokohnya tak dilewatkan juga, Hendrik Sneevliet (pendiri) dan Samaun juga Alimin (tokoh-tokoh PKI) dikenal baik sebagai teman diskusi Soekarno kala itu.
                Sekolah teknik di Bandung saat itu menjadi pusat pemikiran dan gerakan nasionalis,  selanjutnya menjadi pilihan untuk Soekarno melanjutkan pendidikannya. Selama di Bandung rumah Hj.Sanusi yang masih teman Tjokroaminoto menjadi tempat tinggalnya. Pertemanannya dengan berbagai kalangan menjadi lebih luas, di kota inilah Ernest Douwes Dekker yang menolak dasar Islam dan doktrin sosialisme ketat, yang menjadi dasar pemikirannya adalah bangsa yang merdeka dan multirasial dikenalnya, tapi perkenalan dengan teman barunnya ini semakin mengecilkan Soekarno akan gagasan tentang sabuah negara nasional yang sosialis jika dikaitkan dengan paham yang diyakini oleh Doewes Dekker.
Awal langkah Soekarno bergelut dalam bidang politik adalah ketika dia mulai memasuki suatu klub yang bernama Algemeene Studie Club, dimana jabatan sekretaris dan penggerak utama disandangnya. Aktifitas ini mulai digeluti setamatnya dari sekolah tekhnik, dimana pada saat itu ada dua pikiran yang berkecamuk dalam benak Soekarno. Satu sisi dia mendapat tawaran dari menjadi pegawai pemerintah dan sisi lainnya keinginan untuk berkecimpung dalam dunia politik.
Saat itu keadaan politik Indonesia bisa dikatakan kacau balau. Para tokoh politik dan organisasi saling mencurigai dan saling menyalahkan. Pada tahun 1926 PKI harus menghadapi  kegagalan dalam pemberontakannya, akibatnya terjadi penangkapan pada para tokohnya, begitu pun yang terjadi pada organisasi yang pernah mendapat sambutan dari masyarakat, Sarekat Islam, semua tinggal nama akibat perlakuan pihak kolonial. Keadaan itu membuat Soekarno dan kelompok studinya membentuk organisasi massa yang terdiri dari berbagai kekuatan.
                Masih dalam tahun yang sama pula, dalam Suluh Indonesia Muda yang ditunjukkan untuk para kaum Nasionalis, Islam dan Komunis yang saling bermusuhan, Soekarno menyerukan:
“ Nasionalis yang enggan berdekatan dan bekerja sama dengan kaum Marxis menunjukkan ketiadaan pengetahuannya berputarnya roda politik dunia. Ia lupa bahwa memusuhi bangsanya yang Marxis itu samalah artinya dengan menolak kawan sejalan dan menambah adanya musuh.”
“Islam yang sejati tidaklah menganduk azas anti nasionalis. Islam yang sejati tidaklah bertabiat anti sosialistis . Selama kaum Islam memusuhi faham-faham nasionalis yang luas budi dan Marxisme yang benar, selama itu tidak bisa mengangkat Islam dari kenistaan dan kerusakan.”
“...Bukannya kita mengharap nasionalis supaya berubah faham menjadi Islamis dan Marxis, bukannya maksud kita menyuruh Marxis dan Islamis berbalik menjadi Nasionalis. Tetapi impian kita ialah berukunandan persatuan antara ketiga golongan itu.”
Tanpa kenal lelah, Soekarno terus mengkoarkan tentang pentingnya persatuan berbagai golongan. Tanggapan atas yang terus-terusan diteriakkan itu (Nasakom) mendapat sambutan hangat yang luar biasa, itu terjadi pada kurun waktu 1920-1930-an, tetapi apa yang terjadi setelah itu sungguh di luar dugaan. Setelah Indonesia merdeka, tidak ada lagi sambutan meriah dari berbagai golongan dan elite politik yang ada. Mungkin yang menjadi permasalahan adalah karena waktu (1940-an) itu Jepang memberi izin pada masyarakat untuk membentuk organisasi-organisasi yang sebelumnya dilarang berdiri.
Berdirilah organisasi Islam yang menaungi dua kekuatan Islam, Muhammdiyah Nahdlatul Ulama yang berada dalam satu wadah bernama Majelis Suro Muslimin Indonesia (Masjumi). Pusat Tenaga Rakyat (PUTERA) merupakan organisasi yang sekuler, dimana untuk kepentingan itu Jepang mengajak Soekarno-Hatta untuk bergabung.
Pada Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Soekarno mengusung kembali ide Nasakomnya, setelah terjadi ketengangan pada konstituante 1955-1959, dimana golongan Islam harus berhadapan dengan golongan nasionalis sekuler yang diduduki pula oleh PKI. Apa yang diusung Soekarno, tetapi tidak mendapat sambutan sebagaimana yang Soekarno harapkan.

Soekarno dan Konsep Sosialis
                Soekarno dan Nasakom, Soekarno dan Marhaen orang tak pernah luput membicarakannya. Marhaen yang sebenarnya berawal dari suatu cerita dimana waktu itu tahun 1927 Soekarno sedang melakukan sebuah perjalanan ke desa Cigereng Bandung. Ia bertemu dengan seseorang petani yang keadaannya miskin meskipun sawah yang digarap dan alat yang dipakai adalah miliknya. Dijadikanlah nama “Marhaen” sebagai gambarnya kemiskinan rakyat Indonesia.
                Saat Soekarno menyadari betapa masih banyak struktur ketidakadilan sosial pada masyarakat Indonesia yang masih kental dengan sistem kefeodalannya.
                Dalam menyusun konsep Marhaen, boleh dikata bukan merupakan hasil pikiran asli sang proklamator, paham Marxisme telah dipakainya sebagai alat sistematis untuk membuat analisa sosial. Konsep pikitan Lenin diduga pula oleh Soekarno ketika berbicara masalah imperialisme, meski pada kenyataannya tidak diterapkan untuk situasi dan kondisi Indonesia.
                PKI pernah mempunyai pendapat bahwa perlawanan rakyat terhadap penjajah adalah sebuah kekakuan kelas, berbeda dengan Soekarno yang menyatakan bahwa tidak ada kekakuan kelas yang ada adalah rakyat Indonesia secara keseluruhan mendambakan kemakmuran melalui negrinya, jadi meskipun mereka masih mempunyai sesuatu.
                Pada era tahun 1950-1960-an terjadi pengolakan politik. Pertikaian politik, perebutan kekuasaan antar partai, tekanan militer untuk saling berebut posisi dalam negri begitu tajam. Sehingga baris-baris kekuatan ekonomi pun turut pula diperebutkan. Akhirnya nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing pun menjadi perseteruan, korupsi menjadi santapan sehari-hari. Bahkan angkatan darat yang sudah berpengalaman mengatur jalur logistik tersebut mendapatkan keuntungan dari beberapa perusahaan strategis. Padahal pada tahun yang sama Soekarno kembali menggaungkan konsep Marhaenismenya. Sehingga sangat sulit bagi Soekarno melakukan konsilidasi ekonomi.
                Kenyataan saat itu malah berkata lain. Pemikiran Soekarno mulai bercabang, mulai tergiur untuk mendapatkan peran dalam peta politik global. Betapa Soekarno begitu mendambakan sebuah kekuatan regional yang mampu menghadapi kekuatan kapitalisme negara-negara besar. Perhatian Soekarno pada pengaturan ekonomi politik dalam negeri pun harus retak karena situasi yang kompleks tersebut.
                Kelemahan Soekarno dalam mengatur perekonomian negara diakui pula oleh dirinya, yang mengatakan bahwa dirinya bukanlah ahli ekonomi, tidak mengerti tekhnik ekonomi dan tekhnik perdagangan. Pengakuan tersebut dibacakan pada pidato kenegaraan 17 Agustus 1963, yang mana pada kesempatan itu pun diakui pula bahwa dirinya hanyalah seorang revolusioner dan yang menjadi perhatiannya hanyalah revolusi ekonomi.
                Pernyataan pembelaan dirinya tentang kelemahannya adalah baha masalah ekonomi adalah masalah yang sederhana, karena baginya ada satu aksioma, dimana kalau suatu bangsa yang berada di wihlayah padang pasir kering kerontang saja bisa hidup, apalagi bangsa Indonesia yang gemaripah loh jinawi (tanah subur dan kekayaan alam yang berlimpah ruah).
                Sayang, cara berpikir Soekarno tentang karakter bangsa Indonesia yang menurutnya penuh kegotongroyongan, secara keseluruhan tidaklah benar. Pandangannya tersebut dipropagandakan oleh orang-orang yang menginginkan dan haus akan kekuasaan. Dan yang lebih sedih lagi, tidak ada dukungan dari sebuah partai pelopor yang mampu menjabarkan gagasan dan pola pikirannya dengan lebih detail, sistematis dan realistis terhadap konsep Marhaenismenya.
                Soekarno memang telah tiada. Pada masa akhir jabatannya sang proklamator harus bersedia menyingkir dari pusat kekuasaan tanpa diberi kesempatan untuk membela diri.
                Banyak hal yang bisa kita ambil dari konsep pemikiran Soekarno, tetapi itu bukan ingin kembali meneriakkan slogan-slogan idealistis dan utopis. Apa yang sudah dibuatnya, mengajarkan pada kita yang berpikir lateral yang mengali suatu yang baru. Berkata “tidak” adalah salah satu hal yang bisa kita jadikan pelajaran pula. Keberaniannya mengatakan pada bentuk penindasan dan pembodohan patut ditiru sampai kapan pun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar