Senin, 05 November 2012

MOHAMMAD HATTA


Mohammad hatta

Awal Perkenalan dengan Politik
                Mohammad Hatta atau lebih akrab dipanggil dengan Bung Hatta adalah tokoh yang bisa disejajarkan dengan nama besar Bung Karno. Keduanya adalah partner dalam memerdekakan Indonesia, meski diantara keduanya pernah terjadi perselisihan pendapat. Tapi adalah hal yang wajar karena meski sama-sama dibersarkan dalam dunia politik yang sama, tapi mereka adalah dua pribadi yang berbeda, yang tentunya mempunyai konsep dan cara pemikirannya sendiri.
                Partner kerja, sahabat dalam menjalani hidup dan teman dalam diskusi, itulah yang terjadi antara Hatta dengan Soekarno. Namun seperti yang sudah disiratkan dalam alinea di atas bukan berarti semua itu menjadikannya sebagai manusia yang tidak mempunyai masalah. Antara keduanya sering kali pula terjadi perselisihan. Debat terbuka antara keduanya yang dilakukan lewat tulisan-tulisan yang dimuat pada beragam koran di masa itu telah mengembangkan wacana intelektual kebangsaan. Lewat tangan-tangan kokoh keduanya, bangsa kita mampu melewati masa-masa kritis menuju kemerdekaan.
                Lahir di sebuah desa di Batuhampar Bukittinggi dari sebuah keluarga terpandang (Syekh-pemimpin agama Islam). Ketika azan subuh berkumandang, saat itulah tepatnya tanggal 12 Agustus 1902, seorang bayi mungil lahir dari rahim seorang ibu, Siti Saleha Djamil.
                Ayahnya, Haji Mohammad Djamil telah meninggalkan Hatta untuk selama-lamanya sejak Hatta masih kecil. Usia 8 bulan, Hatta harus menjadi anak yatim.
                Hatta hidup dan dibesarkan di tengah-tengah keluarga yang begitu kuat memegang teguh adat tetapi tetap memperhatikan segi pendidikan. Masa pendidikan Hatta dimulai pada Sekolah Rakyat di Bukittinggi. Selepas itu, saat usianya menginjak 11 tahun, Hatta menamatkan sekolah menengahnya di Padang. Selama sekolah di MULO inilah awal ketertarikannya pada dunia politik.  Kesadaran Hatta akan perlunya kebangkitan rasa berbangsa dan bernegara di kalangan pelajar bumi putera agar mampu menjadi pendidik dan pemimpin bangsanya sendiri mulai timbul dalam benaknya saat menjadi utusan Jong Sumatranen Bond, sebuah perkumpulan pemuda Sumatera yang belajar di sekolah-sekolah Betawi (Jakarta), dimana Hatta menjadi salah satu anggotanya, untuk hadir dalam diskusi yang dihadiri pula oleh Nazit Dt Pamontjak pada Januari 1918.
                Keterlibatannya di Jong Sumatranen Bond membuatnya banyak bergaul dengan berbagai kalangan, terutama dengan tokoh-tokoh nasional. Salah seorang yang begitu berperan dan mempengaruhi cara berpikir Hatta adalah Hj. Agus Sali yang dengannya, Hatta bisa mempelajari tentang sosialisme, terutama yang berkaitan dengan religius - sosialisme religius.
                Dari waktu ke waktu, ketertarikan Hatta pada bidang politik semakin menempatkannya pada posisi yang menjadikannya harus mampu berpikir dengan pandangan yang tak pernah lepas dari segi pendidikan dan wawasan berbangsa serta bernegaranya. Setelah 11 tahun mengabdikan dirinya sebagai pelajar di negeri Belanda, Hatta sempat menduduki jabatan ketua pada sebuah perkumpulan intelektual Indonesia yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia di negara bunga tulip dan daratan Eropa lainnya – Perhimpunan Indonesia. Lewat organisasi ini, para tokoh yang ada di dalamnya berjuang bersama-sama membangkitkan semangat nasionalisme masyarakat Indonesia yang tinggal di Eropa. PI dengan berbagai propagandanya bertujuan untuk mencari simpati masyarakat internasioanal demi kepentingan Indonesia.
                 Dari kegiatannya tersebut, Hatta sempat menjadi orang yang dicari-cari oleh pihak kemanan. Polisi menangkap dan memenjarakannya selama lima setengah bulan dengan tuduhan telah menjadi anggota pada organisasi terlarang, terlibat dalam pemberontakan, juga menghasut untuk menentang kerajaan Belanda.
                Rupanya dunia pendidikan lebih menarik perhatiannya ketimbang dunia politik. Sekembalinya Hatta di Indonesia (20 Juli 1932) segera dirinya membangun organisasi yang bertujuan mengembangkan kualitas kader-kader bangsa. Tapi apa daya, kegiatan berpolitiknya tak sanggup ditinggalkan, pertemuannya dengan Soekarno kembali menjadi jalan baginya untuk terjun pada dunia politik praktis.
                Tanggal 1 Desember 1956, Hatta mengundurkan diri dari jabatannya debagai wakil presiden. Pengunduran dirinya mendapat berbagai tanggapan. Banyak kritik yang dilontarkan karenanya. Keputusan yang diambilnya itu dianggap sebagian orang sebagai suatu hal yang salah karena dengan demikian berarti membiarkan Soekarno memegang kepemimpinan nasional sendiri, sehingga akan menciptakan pemerintahan yang terpusat. Akibatnya banyak terjadi pemberontakan di daerah, seperti pemberontakan di Sumatera Barat pimpinan Kolonel Ahmad Husein yang ingin mengambil alih pemerintahan provinsi. Jelang dua hari setelah itu, hal serupa terjadi pula di Sumatera Utara.
                Tanpa pengaruh partai dan parlemen, Soekarno pun segera mengambil tindakan untuk menunjukkan kewenangan kekuasaannya.
                Apakah sebenarnya yang menjadi tujuan Bung Hatta sehingga dia meletakkan jabatannya? Apakah pengunduran dirinya itu bertujuan demi persatuan dan kesatuan bangsa, dengan memberikan kesempatan kepada Bung Karno untuk menuruti jalannya sendiri mencapai apa yang diinginkan bagi bangsa dan negara Indonesia? Atau adakah tujuan lain yang kita tidak mengetahuinya.

Bung Hatta dan Koperasi
                “Bahwa perekonomian yang paling cocok untuk dikembangkan di Indonesia dalah sistem ekonomi campuran dengan sektor sosialis yang besar, sektor koperasi yang luas terutama pada tingkat pedesaan dan lingkungan kapitalis yang berbatas, sehingga sektor usaha kecil dan dapat terus hidup berdampingan dengan sektor-sektor yang lebih besar itu. Ia berpendapat bahwa tidak perlu dikembangkan kelas menengah kapitalis masyarakat yang pada dasarnya sosialistis dapaot dimamfaatkan, ataupun untuk memperoleh tenaga admistrasi yang diperlukan untuk menjalankan aparat masyarakat sosialis.” (diskusi antara Hatta dan George Mt.Kahir)
                Saat Indonesia mulai menata kehidupan sendiri, Hattalah orang yang meletakkan falsafah dalam penyusunan konsep ekonomi Indonesia, dimana falsafahnya itu tertuang dalam pasal 3 UUD 1945. Penerapan pasal sebaliknya akan mendekatkan kepada asas kolektivime,yaitu sama sejahtera.
                Bagi Hatta, kolektivisme lah yang paling sesuai dengan cita-cita hidup bangsa Indonesia, karena sejak dulu diakui bahwa masyarakat Indonesia sudah terbiasa dengan budaya gotong royong, dan konsep yang cocok untuk menerapkannya dalam bentuk koperasi yang bercita-cita menentang individualisme dan kapitalisme antara fundamental.
                Pemilihan koperasi sebagai alat utama dalam perekonomian bangsa Indonesia karena prinsip yang ada di dalamnya yaitu mengutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia, yang nantinya diharapkan dengan koperasi ini akan tercipta masyarakat Indonesia yang  berkeadilan sosial.
                Saat banyak tokoh mengeluarkan kritikannya, dengan tegas Hatta menyatakan bahwa koperasi yang merupakan hasil pemikirannya mampu menciptakan masyarakat yang industrialis dengan syarat adanya kemampuan bagi bangsa Indonesia untuk melepaskan pandangannya dari individualisme dan liberalisme. Kita hanya perlu memberikan pendidikan koperasi dan political will pemerintah.
                Mungkin yang menjadi masalah dalam mendirikan industri secara koperasi adalah yang berkaitan dengan modal/kapital, dimana kaum buruh tidaklah sanggup mengeluarkannya untuk mendirikan koperasi. Permasalahan itu dapat diatasi dengan cara pemberian pinjaman uang muka dari pemerintah yang harus diangsur oleh perusahaan koperasi.
                Kerja keras Hatta dalam menyusun konsep perekonomian di Indonesia tidak dapat terwujud sampai saat ini. Ketakutan Hatta akan terjadinya sistem perekonomian individualisme di Indonesia kini menjadi kenyataan. Sedih, mungkin itu yang dirasakan Hatta manakala dia melihat kehancuran sistem ekonomi yang dikembangkan para teknokrat Indonesia.
                14 Maret 1980, adalah hari duka bagi keluarga besar Hatta. Akibat sakit yang dideritanya, Hatta menghembuskan nafasnya yang terakhir. Kini dia telah pergi meninggalkan segudang warisan bagi kita generasi penerusnya. Segudang tanggung jawab pula ada di depan kita. Mampukah kita meneruskan langkah dan cita-citanya?? Perjalanan seorang Hatta telah memberikan warna bagi negara kita, walau pemikiran dan konsep-konsepnya kita lupakan. Namun yang jelas nama Hatta tetap menyala diantara relung hati masyarakat Indonesia, di tengah ribuan rakyat cilik yang haus akan kemakmuran dan kesejahteraan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar