Mohammad hatta
Awal Perkenalan dengan Politik
Mohammad
Hatta atau lebih akrab dipanggil dengan Bung Hatta adalah tokoh yang bisa
disejajarkan dengan nama besar Bung Karno. Keduanya adalah partner dalam
memerdekakan Indonesia, meski diantara keduanya pernah terjadi perselisihan
pendapat. Tapi adalah hal yang wajar karena meski sama-sama dibersarkan dalam
dunia politik yang sama, tapi mereka adalah dua pribadi yang berbeda, yang
tentunya mempunyai konsep dan cara pemikirannya sendiri.
Partner
kerja, sahabat dalam menjalani hidup dan teman dalam diskusi, itulah yang
terjadi antara Hatta dengan Soekarno. Namun seperti yang sudah disiratkan dalam
alinea di atas bukan berarti semua itu menjadikannya sebagai manusia yang tidak
mempunyai masalah. Antara keduanya sering kali pula terjadi perselisihan. Debat
terbuka antara keduanya yang dilakukan lewat tulisan-tulisan yang dimuat pada
beragam koran di masa itu telah mengembangkan wacana intelektual kebangsaan.
Lewat tangan-tangan kokoh keduanya, bangsa kita mampu melewati masa-masa kritis
menuju kemerdekaan.
Lahir
di sebuah desa di Batuhampar Bukittinggi dari sebuah keluarga terpandang
(Syekh-pemimpin agama Islam). Ketika azan subuh berkumandang, saat itulah
tepatnya tanggal 12 Agustus 1902, seorang bayi mungil lahir dari rahim seorang
ibu, Siti Saleha Djamil.
Ayahnya,
Haji Mohammad Djamil telah meninggalkan Hatta untuk selama-lamanya sejak Hatta
masih kecil. Usia 8 bulan, Hatta harus menjadi anak yatim.
Hatta
hidup dan dibesarkan di tengah-tengah keluarga yang begitu kuat memegang teguh
adat tetapi tetap memperhatikan segi pendidikan. Masa pendidikan Hatta dimulai
pada Sekolah Rakyat di Bukittinggi. Selepas itu, saat usianya menginjak 11
tahun, Hatta menamatkan sekolah menengahnya di Padang. Selama sekolah di MULO
inilah awal ketertarikannya pada dunia politik. Kesadaran Hatta akan perlunya kebangkitan rasa
berbangsa dan bernegara di kalangan pelajar bumi putera agar mampu menjadi
pendidik dan pemimpin bangsanya sendiri mulai timbul dalam benaknya saat
menjadi utusan Jong Sumatranen Bond, sebuah perkumpulan pemuda Sumatera yang
belajar di sekolah-sekolah Betawi (Jakarta), dimana Hatta menjadi salah satu
anggotanya, untuk hadir dalam diskusi yang dihadiri pula oleh Nazit Dt
Pamontjak pada Januari 1918.
Keterlibatannya
di Jong Sumatranen Bond membuatnya banyak bergaul dengan berbagai kalangan,
terutama dengan tokoh-tokoh nasional. Salah seorang yang begitu berperan dan
mempengaruhi cara berpikir Hatta adalah Hj. Agus Sali yang dengannya, Hatta
bisa mempelajari tentang sosialisme, terutama yang berkaitan dengan religius -
sosialisme religius.
Dari
waktu ke waktu, ketertarikan Hatta pada bidang politik semakin menempatkannya
pada posisi yang menjadikannya harus mampu berpikir dengan pandangan yang tak
pernah lepas dari segi pendidikan dan wawasan berbangsa serta bernegaranya.
Setelah 11 tahun mengabdikan dirinya sebagai pelajar di negeri Belanda, Hatta
sempat menduduki jabatan ketua pada sebuah perkumpulan intelektual Indonesia
yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia di negara bunga tulip dan daratan
Eropa lainnya – Perhimpunan Indonesia. Lewat organisasi ini, para tokoh yang
ada di dalamnya berjuang bersama-sama membangkitkan semangat nasionalisme
masyarakat Indonesia yang tinggal di Eropa. PI dengan berbagai propagandanya
bertujuan untuk mencari simpati masyarakat internasioanal demi kepentingan
Indonesia.
Dari kegiatannya tersebut, Hatta sempat
menjadi orang yang dicari-cari oleh pihak kemanan. Polisi menangkap dan
memenjarakannya selama lima setengah bulan dengan tuduhan telah menjadi anggota
pada organisasi terlarang, terlibat dalam pemberontakan, juga menghasut untuk
menentang kerajaan Belanda.
Rupanya
dunia pendidikan lebih menarik perhatiannya ketimbang dunia politik.
Sekembalinya Hatta di Indonesia (20 Juli 1932) segera dirinya membangun
organisasi yang bertujuan mengembangkan kualitas kader-kader bangsa. Tapi apa
daya, kegiatan berpolitiknya tak sanggup ditinggalkan, pertemuannya dengan
Soekarno kembali menjadi jalan baginya untuk terjun pada dunia politik praktis.
Tanggal
1 Desember 1956, Hatta mengundurkan diri dari jabatannya debagai wakil
presiden. Pengunduran dirinya mendapat berbagai tanggapan. Banyak kritik yang
dilontarkan karenanya. Keputusan yang diambilnya itu dianggap sebagian orang
sebagai suatu hal yang salah karena dengan demikian berarti membiarkan Soekarno
memegang kepemimpinan nasional sendiri, sehingga akan menciptakan pemerintahan
yang terpusat. Akibatnya banyak terjadi pemberontakan di daerah, seperti
pemberontakan di Sumatera Barat pimpinan Kolonel Ahmad Husein yang ingin
mengambil alih pemerintahan provinsi. Jelang dua hari setelah itu, hal serupa
terjadi pula di Sumatera Utara.
Tanpa
pengaruh partai dan parlemen, Soekarno pun segera mengambil tindakan untuk
menunjukkan kewenangan kekuasaannya.
Apakah
sebenarnya yang menjadi tujuan Bung Hatta sehingga dia meletakkan jabatannya?
Apakah pengunduran dirinya itu bertujuan demi persatuan dan kesatuan bangsa,
dengan memberikan kesempatan kepada Bung Karno untuk menuruti jalannya sendiri
mencapai apa yang diinginkan bagi bangsa dan negara Indonesia? Atau adakah
tujuan lain yang kita tidak mengetahuinya.
Bung Hatta dan Koperasi
“Bahwa
perekonomian yang paling cocok untuk dikembangkan di Indonesia dalah sistem
ekonomi campuran dengan sektor sosialis yang besar, sektor koperasi yang luas
terutama pada tingkat pedesaan dan lingkungan kapitalis yang berbatas, sehingga
sektor usaha kecil dan dapat terus hidup berdampingan dengan sektor-sektor yang
lebih besar itu. Ia berpendapat bahwa tidak perlu dikembangkan kelas menengah
kapitalis masyarakat yang pada dasarnya sosialistis dapaot dimamfaatkan,
ataupun untuk memperoleh tenaga admistrasi yang diperlukan untuk menjalankan
aparat masyarakat sosialis.” (diskusi antara Hatta dan George Mt.Kahir)
Saat
Indonesia mulai menata kehidupan sendiri, Hattalah orang yang meletakkan
falsafah dalam penyusunan konsep ekonomi Indonesia, dimana falsafahnya itu
tertuang dalam pasal 3 UUD 1945. Penerapan pasal sebaliknya akan mendekatkan kepada
asas kolektivime,yaitu sama sejahtera.
Bagi
Hatta, kolektivisme lah yang paling sesuai dengan cita-cita hidup bangsa
Indonesia, karena sejak dulu diakui bahwa masyarakat Indonesia sudah terbiasa
dengan budaya gotong royong, dan konsep yang cocok untuk menerapkannya dalam
bentuk koperasi yang bercita-cita menentang individualisme dan kapitalisme
antara fundamental.
Pemilihan
koperasi sebagai alat utama dalam perekonomian bangsa Indonesia karena prinsip
yang ada di dalamnya yaitu mengutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan
pribadi sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia, yang nantinya diharapkan
dengan koperasi ini akan tercipta masyarakat Indonesia yang berkeadilan sosial.
Saat
banyak tokoh mengeluarkan kritikannya, dengan tegas Hatta menyatakan bahwa
koperasi yang merupakan hasil pemikirannya mampu menciptakan masyarakat yang
industrialis dengan syarat adanya kemampuan bagi bangsa Indonesia untuk
melepaskan pandangannya dari individualisme dan liberalisme. Kita hanya perlu
memberikan pendidikan koperasi dan political will pemerintah.
Mungkin
yang menjadi masalah dalam mendirikan industri secara koperasi adalah yang
berkaitan dengan modal/kapital, dimana kaum buruh tidaklah sanggup
mengeluarkannya untuk mendirikan koperasi. Permasalahan itu dapat diatasi
dengan cara pemberian pinjaman uang muka dari pemerintah yang harus diangsur
oleh perusahaan koperasi.
Kerja
keras Hatta dalam menyusun konsep perekonomian di Indonesia tidak dapat
terwujud sampai saat ini. Ketakutan Hatta akan terjadinya sistem perekonomian
individualisme di Indonesia kini menjadi kenyataan. Sedih, mungkin itu yang
dirasakan Hatta manakala dia melihat kehancuran sistem ekonomi yang
dikembangkan para teknokrat Indonesia.
14
Maret 1980, adalah hari duka bagi keluarga besar Hatta. Akibat sakit yang dideritanya,
Hatta menghembuskan nafasnya yang terakhir. Kini dia telah pergi meninggalkan
segudang warisan bagi kita generasi penerusnya. Segudang tanggung jawab pula
ada di depan kita. Mampukah kita meneruskan langkah dan cita-citanya??
Perjalanan seorang Hatta telah memberikan warna bagi negara kita, walau
pemikiran dan konsep-konsepnya kita lupakan. Namun yang jelas nama Hatta tetap
menyala diantara relung hati masyarakat Indonesia, di tengah ribuan rakyat
cilik yang haus akan kemakmuran dan kesejahteraan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar