Senin, 05 November 2012

soeharto


SOEHARTO

Bapak Pembangunan yang Lupa Menjaga Kelangsungan Pembangunan.
                Soeharto, siapa yang tak mengenalnya. Sosok yang selama 32 tahun menancapkan kekuasaannya di bumi Indonesia. Banyak menarik simpati dari berbagai kalangan, terutama di pedesaan. Begitulah Soeharto, tahu bagaimana caranya mengambil hati rakyat kelas bawah.
Tanggal 8 Maret 1967 saat Sidang Istimewa MPRS, adalah hari yang tidak mungkin terlupakan oleh Soeharto, hari yang kemudian menuntun langkahnya menjadi orang nomor satu di Indonesia. Saat itu adalah hari setelah terjadinya pemberontakan G-30 S/PKI yang boleh dikatakan sebagai awal langkah Soeharto dalam meraih karier dan kekuasaan,dimana pada tanggal yang sama Soeharto dimintai penjelasannya tentang peristiwa 1 Oktober 1965. Dengan suara penuh wibawa tanpa disertai emosi Soeharto maju ke depan. Kata demi kata keluar, panjang lebar diuraikan fakta-fakta tentang kehadiran Presiden Soekarno di Pangkalan Halim pada tanggal 1 Oktober 1965. Akhirnya sidang itu memutuskan bahwa Soekarno telah gagal melaksanakan amanat dan keputusan MPRS. Itulah yang membawa Soeharto disahkan dan dilantik menjadi Presiden RI yang kedua melalui Sidang Umum MPRS ke V pada bulan Maret 1968.
Ketika pengangkatan itu dilaksanakan banyak pihak yang merasa ragu akan kemampuannya. Ya, seorang anak desa putra petani telah menjadi Presiden. Dia bukan siapa-siapa hanya saja dia selalu berada pada waktu dan tempat yang tepat.
“Saya tidak kaget, saya tidak terkejut. Saya tidak merasa mentang-mentang. Setelah saya dilantik sebagi pejabat presiden, saya berbicara kepada diri sendiri. Saya mesti membuktikan bahwa saya harus menjawab kepercayaan para wakil rakyat itu dengan  berusaha sungguh-sungguh dan melaksanakan tugas saya sebaik-baiknya.”
Diakui atau tidak, Soeharto yang bukan apa-apa ternyata harus menang satu langkah dari AH. Nasutio. Jenderal Soemitro (dikutip oleh Adam Schwartz) pernah mengungkapkan bahwa sebenarnya mereka tidak  mengharapkan Soeharto menjadi pengganti Soekarno. Harapan mereka sebenarnya ada pada Jenderal AH. Nasution yang sangat disayangkan karena tidak mempunyai keberanian untuk berhadapan dengan Soekarno.
                Banyak pihak yang meragukannya, kerja keras pun harus dilakukan Soeharto untuk membuktikannya. Sesegera mungkin Soeharto mengambil tindakan dengan mengumpulkan sejumlah ekonom handal lulusan barat merancang program rehabilitasi dan stabilisasi pembangunan untuk memulihkan perekonomian dalam negeri yang terpuruk akibat adanya kebijakan konfrontasi yang tidak memberi peluang pada pihak asing untuk berinvestasi sebagai peninggalan  yang diwariskan oleh Ekonomi Terpimpin Orde Lama (1959-1965). Harapan lain yang ingin dituju adalah adanya kepercayaan pihak luar terhadap Indonesia. Akhirnya dibukalah pintu bagi investasi asing untuk menanamkan modalnya melalui UU No. 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA). Kerja keras Soeharto bersama teamya ternyata tidak sia-sia, apa yang diharapkan menjadi kenyataan, Indonesia pun berhasil menjadi negara yang patut diperhitungkan di Asia, baik secara ekonomi maupun secara politik.
Soeharto, Soeharto dan Soeharto, selama sekian dekade menjadi nama yang tak pernah luput dari sorotan lensa dan berita. Tetapi jika diibaratkan, Soeharto  lebih menyerupai raja yang begitu sulit untuk dijamah dan suka bertitah. Jauh dari sifat seseorang pemimpin yang menyukai diskusi untuk mencari solusi.
                Apakah hal ini berkaitan karena dia berasal dari dunia militer? Tak bisa dipungkiri lagi, kenyataan yang ada memang seperti itu. Sejumlah kursi gratis DPR untuk kalangan militer disediakan pada masa pemerintahannya.
                “Saya tidak menutup mata terhadap kekhawatiran di sementara kalangan diluar negeri bahkan didalam negeri pun bahaya Dwifungsi ABRI serta peranannya sebagai stabilisator dan dinamisator suatu waktu akan melahirkan pemerintahan yang militeristis, otoriter, atau totaliter. Kekhawatiran semacam itu beralasan...”
                Gerbrakan lain yang dilakukan Soeharto adalah dengan mencanangkan Pancasila sebagai asas tunggal bagi setiap organisasi kemasyarakatan ataupun politik yang ada di Indonesia. Tak ayal lagi, rezim orde baru pun diwarnai dengan serba ketunggalan yang lebih pas disebut sebagai suatu bentuk korporastisme negara.
                Soeharto dan susunan menterinya boleh berbangga atas keberhasilannya membawa Indonesia ke keadaan yang lebih baik. Tapi apa daya, semuanya harus berubah. Gaya kepemimpinan Soeharto pada era 80-an mengalami perubahan dahsyat. Keluarga besar yang lebih dikenal dengan keluarga Cendana menjadi aset untuk menumpuk kekayaan. Anak-anaknya menciptakan kerajaan bisnis yang berakar pada terciptanya permasalahan besar dikemudian hari, KKN (Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme). Tak salah jika sebuah penelitian menyatakan bahwa Indonesia tercatat sebagai negara terkorup untuk wihlayah Asia.
                Apa daya, keberhasilan yang dicanangkan malah membuat Indonesia semakin mengalami kesulitan untuk bangkit dari krisis moneter, bahkan semakin terpuruk, mengingat utang luar negeri yang semakin menumpuk dengan tidak pasti arah pengeluarannya.
                Mosi tidak percaya kepada pemerintahan Soeharto makin menjadi jadi. Tahun 90-an menjadi tahun yang menguncang pemerintahan Orde Baru. Demonstrasi terjadi dimana-mana. Kewibawaan Soeharto teruji karenanya.
                Tepatnya tanggal 21 Mei 1998 saat masa semakin meledak-ledak. Mahasiswa turun ke jalanan, saat itulah Soeharto harus mengakui ketidakberhasilannya mengatasi permasalahan yang ada. Masih pada tanggal yang sama, pukul 09.00 WIB, dengan mimik tenang tanpa emosi dihadapan pers didampingi putrinya, Tutut, si penguasa Orde Baru mengundurkan diri.

Sekilas Mengenai Sejarah Hidup Penguasa ORBA
                Soeharto dikenal sebagai sosok yang pantang menyerah. Pun menjelang akhir kekuasaannya, masih sempat Soeharto berusaha untuk tetap bertahan dan memimpin Indonesia.
                Dalam kurun waktu tertentu, kehidupan Soeharto menjadi pertanyaan besar barkaitan dengan silsilah keluarganya. Sebagian sumber mengatakan bahwa Soeharto adalah hasil hubungan gelap antara seseorang pedagang emas dari Cina dengan pengasuh anak di Keraton Surakarta.
                Pertanyaan itu tidak sempat bertahan lama, pada tahun 1974 Soeharto secara terbuka memberi keterangan pada para wartawan.
                “Saya adalah keturunan Bapak Kertosudiro alias Kertorejo, ulu-ulu (Pengatur air) yang secara pribadi tidak mempunyai tanah sejengkal pun.... Saya katakan, tulisan-tulisan yang tidak benar mengenai silsilah saya itu mungkin bisa ditafsirkan yang tidak-tidak atau memberikan bahan yang mungkin tidak hanya merugikan saya pribadi, tetapi juga keluarga dan leluhur saya dan mungkin juga  sampai kepada negara dan bangsa Indonesia...”
                Sementara itu menurut sumber yang diambil dari buku karya G. Dwipayana dan Ramadhan KH dalam bukunya yang berjudul Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya dituliskan bahwa Soeharto adalah putra Sukirah istri kedua Kertosudiro yang kemudian bercerai. Dilahirkan di desa Kemusuk-Jawa Tengah. Karena keadaan kemiskinan keluarganya, Soeharto harus diasuh oleh beberapa keluarganya demi mendapatkan pendidikan dan penghidupan yang layak.
                Sejak kecil Soeharto sudah mendalami budi pekerti, agama, dan memahami falsafah kehidupan Jawa. Dari puasa Senin-Kamis, tidur di atas ujung atap rumah sampai tidur di atas bekas bakaran sampah dilakoninya, dari hal seperti itulah didapat 3 ajaran mengenai aja kagetan, aja gumunan, lan aja dumeh (jangan lekas kaget, jangan lekas heran, dan jangan sombong).
                Awal karier Soeharto dimulai dengan menjadi anggota KNIL atau tentara kerajaan belanda. Kemudian mengikuti program Koertverband (Ikatan Dinas Pendek) dengan menyandang lulusan terbaik. Prestasinya itu menjadikan Soeharto mendapat promosi untuk menjadi anggota PETA sebagai shodanco (komandan peleton), setelah itu pendidikan militernya dilanjutkan menjadi chudancho (komandan kompi) lulus pada tahun 1944. Baru pada tanggal 5 Oktober 1945, Soeharto resmi terpilih menjadi tentara Indonesia dibawah naungan Tentara Keamanan Rakyat dan langsung dipercaya memimpin Batalion X dengan pangkat Mayor.
                Tanggal 26 Desember 1947, Soeharto melepaskan masa lajangnya dengan menyunting puteri RM. Sumoharjomo, Wedana Wuryantoro, yang kemudian dikenal dengan nama Ibu Tien Soeharto, meski nama aslinya adalah Siti Hartinah. Pernikahannya tersebut melahirkan 6 orang anak, 3 putera dan 3 puteri.
                Pengalaman masa lalunya yang berasal dari keluarga broken home membuat Soeharto bertindak tegas dengan mengeluarkan larangan berpoligami bagi para pegawai negeri. Begitulah Soeharto dalam menjalin hubungan baik dengan ajudannya saat ulang tahun perkawinan, selalu dirayakan dengan kegiatan olahraga di sekitar jalan Cendana.
                Dalam Nation in Waiting, 1994, Adam Schwartz menuliskan bahwa perhatian Soeharto yang luar biasa terhadap keluarganya turut menjadi jalan dalam mengadakan kerja sama bisnis militer. Perhatian Soeharto tidak hanya ditujukan pada keluarganya, bidang militer yang telah mencetak namanya sehingga menjadi orang nomor satu di Indonesia tak luput dari pandangannya, termasuk dalam hal pemenuhan kebutuhan pokok.
                “...Dan masalah mereka yang sebenarnya berputar pada soal kebutuhan-kebutuhan pokok, soal atap tempat berlindung, soal menyekolahkan anak, dan soal kesehatan. Saya tahu, bukan  senjata saja yang dapat memenangkan peperangan, melainkan mereka juga yang ada di belakang senjata itu. Juga keluarganya yang ada di belakang senjata itu. Maka saya mendapat kesimpulan, yang saya tekanankan kepada staf dan lingkungan saya, perlu dibangun kegiatan koperasi di seluruh kesatuan TT-IV/Diponegoro.”
                Saat itulah awal dibukanya era bisnis militer dengan menggunakan nama yayasan atau koperasi, tapi mengalami kegagalan karena mismanajemen internal militer, meski pada dasarnya meniru konsep dan cara yang dipakai dinas militer Amerika Serikat. Untuk menyelamatkan itu semua, diundanglah pihak ketiga untuk turut menggerakkan kegiatan ekonomi militer, pilihan jatuh kepada pengusaha keturunan Cina, sebut saja Liem Sio Liong dan Bob hasan yang kemudian semakin mengeruk kekayaan dengan membuat kerajaan bisnisnya.
                Dengan dalih menyelamatkan rakyat dari bencana kelaparan, Soeharto berhasil lepas dari tuntutan hukum ketika terjadi kegagalan panen di jawa Tengah, dan satu yang tersisa hanyalah gula. Tindakan yang diambil Soeharto pada saat itu adalah dengan meminta Bob Hasan melakukan barter gula dengan beras dari Singapura. Akibat tindakannya itu, para petinggi militer marah dibuatnya. Akhirnya dihadapan Jenderal Gatot Soebroto (Wakasad,waktu itu), Soeharto memberi keterangan dengan alasan “rakyat”.
                Kini, semua yang pernah dilakukan Soeharto menjadi semacam cerita yang terkadang memerahkan telinga. Politik memang tak pernah bersih. Kita tak pernah tahu apakah yang dilakukannya selama ini hanya untuk kepentingan rakyat banyak atau sebaliknya, demi kepentingan pribadi dan “antek-anteknya”? Mengingat apa yang ada sekarang ini. Kekayaan sang penguasa Orde Baru menjadi semacam hal yang patut dipertanyakan? Adilkah jika “mereka” berpesta di atas hartanya, sementara masih banyak rakyat yang terlunta hanya untuk mengais sesuap nasi. Nasib. Memang demikian adanya.
                Nama Soeharto tak akan pernah sirna dari perjalanan sejarah nasional kita. Sepahit apapun, selicik apapun tetap Soeharto seorang yang pernah membawa Indonesia pada keberhasilan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar