SOEHARTO
Bapak Pembangunan yang Lupa Menjaga
Kelangsungan Pembangunan.
Soeharto,
siapa yang tak mengenalnya. Sosok yang selama 32 tahun menancapkan kekuasaannya
di bumi Indonesia. Banyak menarik simpati dari berbagai kalangan, terutama di
pedesaan. Begitulah Soeharto, tahu bagaimana caranya mengambil hati rakyat
kelas bawah.
Tanggal 8 Maret 1967
saat Sidang Istimewa MPRS, adalah hari yang tidak mungkin terlupakan oleh
Soeharto, hari yang kemudian menuntun langkahnya menjadi orang nomor satu di
Indonesia. Saat itu adalah hari setelah terjadinya pemberontakan G-30 S/PKI
yang boleh dikatakan sebagai awal langkah Soeharto dalam meraih karier dan
kekuasaan,dimana pada tanggal yang sama Soeharto dimintai penjelasannya tentang
peristiwa 1 Oktober 1965. Dengan suara penuh wibawa tanpa disertai emosi
Soeharto maju ke depan. Kata demi kata keluar, panjang lebar diuraikan fakta-fakta
tentang kehadiran Presiden Soekarno di Pangkalan Halim pada tanggal 1 Oktober
1965. Akhirnya sidang itu memutuskan bahwa Soekarno telah gagal melaksanakan
amanat dan keputusan MPRS. Itulah yang membawa Soeharto disahkan dan dilantik
menjadi Presiden RI yang kedua melalui Sidang Umum MPRS ke V pada bulan Maret
1968.
Ketika pengangkatan
itu dilaksanakan banyak pihak yang merasa ragu akan kemampuannya. Ya, seorang
anak desa putra petani telah menjadi Presiden. Dia bukan siapa-siapa hanya saja
dia selalu berada pada waktu dan tempat yang tepat.
“Saya tidak kaget,
saya tidak terkejut. Saya tidak merasa mentang-mentang. Setelah saya dilantik
sebagi pejabat presiden, saya berbicara kepada diri sendiri. Saya mesti
membuktikan bahwa saya harus menjawab kepercayaan para wakil rakyat itu dengan berusaha sungguh-sungguh dan melaksanakan
tugas saya sebaik-baiknya.”
Diakui atau tidak,
Soeharto yang bukan apa-apa ternyata harus menang satu langkah dari AH.
Nasutio. Jenderal Soemitro (dikutip oleh Adam Schwartz) pernah mengungkapkan
bahwa sebenarnya mereka tidak mengharapkan
Soeharto menjadi pengganti Soekarno. Harapan mereka sebenarnya ada pada Jenderal
AH. Nasution yang sangat disayangkan karena tidak mempunyai keberanian untuk
berhadapan dengan Soekarno.
Banyak
pihak yang meragukannya, kerja keras pun harus dilakukan Soeharto untuk
membuktikannya. Sesegera mungkin Soeharto mengambil tindakan dengan
mengumpulkan sejumlah ekonom handal lulusan barat merancang program
rehabilitasi dan stabilisasi pembangunan untuk memulihkan perekonomian dalam
negeri yang terpuruk akibat adanya kebijakan konfrontasi yang tidak memberi
peluang pada pihak asing untuk berinvestasi sebagai peninggalan yang diwariskan oleh Ekonomi Terpimpin Orde
Lama (1959-1965). Harapan lain yang ingin dituju adalah adanya kepercayaan
pihak luar terhadap Indonesia. Akhirnya dibukalah pintu bagi investasi asing
untuk menanamkan modalnya melalui UU No. 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing
(PMA). Kerja keras Soeharto bersama teamya ternyata tidak sia-sia, apa yang
diharapkan menjadi kenyataan, Indonesia pun berhasil menjadi negara yang patut
diperhitungkan di Asia, baik secara ekonomi maupun secara politik.
Soeharto, Soeharto
dan Soeharto, selama sekian dekade menjadi nama yang tak pernah luput dari
sorotan lensa dan berita. Tetapi jika diibaratkan, Soeharto lebih menyerupai raja yang begitu sulit untuk
dijamah dan suka bertitah. Jauh dari sifat seseorang pemimpin yang menyukai
diskusi untuk mencari solusi.
Apakah
hal ini berkaitan karena dia berasal dari dunia militer? Tak bisa dipungkiri
lagi, kenyataan yang ada memang seperti itu. Sejumlah kursi gratis DPR untuk
kalangan militer disediakan pada masa pemerintahannya.
“Saya
tidak menutup mata terhadap kekhawatiran di sementara kalangan diluar negeri
bahkan didalam negeri pun bahaya Dwifungsi ABRI serta peranannya sebagai
stabilisator dan dinamisator suatu waktu akan melahirkan pemerintahan yang
militeristis, otoriter, atau totaliter. Kekhawatiran semacam itu beralasan...”
Gerbrakan
lain yang dilakukan Soeharto adalah dengan mencanangkan Pancasila sebagai asas
tunggal bagi setiap organisasi kemasyarakatan ataupun politik yang ada di
Indonesia. Tak ayal lagi, rezim orde baru pun diwarnai dengan serba ketunggalan
yang lebih pas disebut sebagai suatu bentuk korporastisme negara.
Soeharto
dan susunan menterinya boleh berbangga atas keberhasilannya membawa Indonesia ke
keadaan yang lebih baik. Tapi apa daya, semuanya harus berubah. Gaya
kepemimpinan Soeharto pada era 80-an mengalami perubahan dahsyat. Keluarga
besar yang lebih dikenal dengan keluarga Cendana menjadi aset untuk menumpuk
kekayaan. Anak-anaknya menciptakan kerajaan bisnis yang berakar pada
terciptanya permasalahan besar dikemudian hari, KKN (Kolusi, Korupsi, dan
Nepotisme). Tak salah jika sebuah penelitian menyatakan bahwa Indonesia
tercatat sebagai negara terkorup untuk wihlayah Asia.
Apa
daya, keberhasilan yang dicanangkan malah membuat Indonesia semakin mengalami
kesulitan untuk bangkit dari krisis moneter, bahkan semakin terpuruk, mengingat
utang luar negeri yang semakin menumpuk dengan tidak pasti arah pengeluarannya.
Mosi
tidak percaya kepada pemerintahan Soeharto makin menjadi jadi. Tahun 90-an
menjadi tahun yang menguncang pemerintahan Orde Baru. Demonstrasi terjadi dimana-mana.
Kewibawaan Soeharto teruji karenanya.
Tepatnya
tanggal 21 Mei 1998 saat masa semakin meledak-ledak. Mahasiswa turun ke jalanan,
saat itulah Soeharto harus mengakui ketidakberhasilannya mengatasi permasalahan
yang ada. Masih pada tanggal yang sama, pukul 09.00 WIB, dengan mimik tenang
tanpa emosi dihadapan pers didampingi putrinya, Tutut, si penguasa Orde Baru
mengundurkan diri.
Sekilas Mengenai Sejarah Hidup
Penguasa ORBA
Soeharto
dikenal sebagai sosok yang pantang menyerah. Pun menjelang akhir kekuasaannya,
masih sempat Soeharto berusaha untuk tetap bertahan dan memimpin Indonesia.
Dalam
kurun waktu tertentu, kehidupan Soeharto menjadi pertanyaan besar barkaitan
dengan silsilah keluarganya. Sebagian sumber mengatakan bahwa Soeharto adalah
hasil hubungan gelap antara seseorang pedagang emas dari Cina dengan pengasuh
anak di Keraton Surakarta.
Pertanyaan
itu tidak sempat bertahan lama, pada tahun 1974 Soeharto secara terbuka memberi
keterangan pada para wartawan.
“Saya adalah keturunan Bapak Kertosudiro
alias Kertorejo, ulu-ulu (Pengatur air) yang secara pribadi tidak mempunyai
tanah sejengkal pun.... Saya katakan, tulisan-tulisan yang tidak benar mengenai
silsilah saya itu mungkin bisa ditafsirkan yang tidak-tidak atau memberikan
bahan yang mungkin tidak hanya merugikan saya pribadi, tetapi juga keluarga dan
leluhur saya dan mungkin juga sampai
kepada negara dan bangsa Indonesia...”
Sementara
itu menurut sumber yang diambil dari buku karya G. Dwipayana dan Ramadhan KH
dalam bukunya yang berjudul Pikiran,
Ucapan, dan Tindakan Saya dituliskan
bahwa Soeharto adalah putra Sukirah istri kedua Kertosudiro yang kemudian bercerai.
Dilahirkan di desa Kemusuk-Jawa Tengah. Karena keadaan kemiskinan keluarganya,
Soeharto harus diasuh oleh beberapa keluarganya demi mendapatkan pendidikan dan
penghidupan yang layak.
Sejak
kecil Soeharto sudah mendalami budi pekerti, agama, dan memahami falsafah
kehidupan Jawa. Dari puasa Senin-Kamis, tidur di atas ujung atap rumah sampai
tidur di atas bekas bakaran sampah dilakoninya, dari hal seperti itulah didapat
3 ajaran mengenai aja kagetan, aja
gumunan, lan aja dumeh (jangan lekas kaget, jangan lekas heran, dan jangan
sombong).
Awal
karier Soeharto dimulai dengan menjadi anggota KNIL atau tentara kerajaan
belanda. Kemudian mengikuti program Koertverband
(Ikatan Dinas Pendek) dengan menyandang lulusan terbaik. Prestasinya itu
menjadikan Soeharto mendapat promosi untuk menjadi anggota PETA sebagai shodanco (komandan peleton), setelah itu
pendidikan militernya dilanjutkan menjadi chudancho
(komandan kompi) lulus pada tahun 1944. Baru pada tanggal 5 Oktober 1945,
Soeharto resmi terpilih menjadi tentara Indonesia dibawah naungan Tentara
Keamanan Rakyat dan langsung dipercaya memimpin Batalion X dengan pangkat
Mayor.
Tanggal
26 Desember 1947, Soeharto melepaskan masa lajangnya dengan menyunting puteri
RM. Sumoharjomo, Wedana Wuryantoro, yang kemudian dikenal dengan nama Ibu Tien
Soeharto, meski nama aslinya adalah Siti Hartinah. Pernikahannya tersebut
melahirkan 6 orang anak, 3 putera dan 3 puteri.
Pengalaman
masa lalunya yang berasal dari keluarga broken
home membuat Soeharto bertindak tegas dengan mengeluarkan larangan
berpoligami bagi para pegawai negeri. Begitulah Soeharto dalam menjalin
hubungan baik dengan ajudannya saat ulang tahun perkawinan, selalu dirayakan
dengan kegiatan olahraga di sekitar jalan Cendana.
Dalam
Nation in Waiting, 1994, Adam
Schwartz menuliskan bahwa perhatian Soeharto yang luar biasa terhadap
keluarganya turut menjadi jalan dalam mengadakan kerja sama bisnis militer.
Perhatian Soeharto tidak hanya ditujukan pada keluarganya, bidang militer yang
telah mencetak namanya sehingga menjadi orang nomor satu di Indonesia tak luput
dari pandangannya, termasuk dalam hal pemenuhan kebutuhan pokok.
“...Dan
masalah mereka yang sebenarnya berputar pada soal kebutuhan-kebutuhan pokok,
soal atap tempat berlindung, soal menyekolahkan anak, dan soal kesehatan. Saya
tahu, bukan senjata saja yang dapat
memenangkan peperangan, melainkan mereka juga yang ada di belakang senjata itu.
Juga keluarganya yang ada di belakang senjata itu. Maka saya mendapat
kesimpulan, yang saya tekanankan kepada staf dan lingkungan saya, perlu
dibangun kegiatan koperasi di seluruh kesatuan TT-IV/Diponegoro.”
Saat
itulah awal dibukanya era bisnis militer dengan menggunakan nama yayasan atau
koperasi, tapi mengalami kegagalan karena mismanajemen internal militer, meski
pada dasarnya meniru konsep dan cara yang dipakai dinas militer Amerika
Serikat. Untuk menyelamatkan itu semua, diundanglah pihak ketiga untuk turut
menggerakkan kegiatan ekonomi militer, pilihan jatuh kepada pengusaha keturunan
Cina, sebut saja Liem Sio Liong dan Bob hasan yang kemudian semakin mengeruk
kekayaan dengan membuat kerajaan bisnisnya.
Dengan
dalih menyelamatkan rakyat dari bencana kelaparan, Soeharto berhasil lepas dari
tuntutan hukum ketika terjadi kegagalan panen di jawa Tengah, dan satu yang
tersisa hanyalah gula. Tindakan yang diambil Soeharto pada saat itu adalah
dengan meminta Bob Hasan melakukan barter gula dengan beras dari Singapura.
Akibat tindakannya itu, para petinggi militer marah dibuatnya. Akhirnya
dihadapan Jenderal Gatot Soebroto (Wakasad,waktu itu), Soeharto memberi
keterangan dengan alasan “rakyat”.
Kini,
semua yang pernah dilakukan Soeharto menjadi semacam cerita yang terkadang memerahkan
telinga. Politik memang tak pernah bersih. Kita tak pernah tahu apakah yang
dilakukannya selama ini hanya untuk kepentingan rakyat banyak atau sebaliknya,
demi kepentingan pribadi dan “antek-anteknya”? Mengingat apa yang ada sekarang
ini. Kekayaan sang penguasa Orde Baru menjadi semacam hal yang patut
dipertanyakan? Adilkah jika “mereka” berpesta di atas hartanya, sementara masih
banyak rakyat yang terlunta hanya untuk mengais sesuap nasi. Nasib. Memang
demikian adanya.
Nama
Soeharto tak akan pernah sirna dari perjalanan sejarah nasional kita. Sepahit
apapun, selicik apapun tetap Soeharto seorang yang pernah membawa Indonesia
pada keberhasilan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar